Hubungan manusia dengan Pencipta-nya ialah hubungan yang senantiasa segar, baik dalam dimensi dzahir yaitu hidup, maupun tanpa dzahir atau alam roh. Hubungan ini berbeda dari hubungan manusia sama manusia, atau dengan hasil usahanya yang bersifat sementara belaka.
Hal ini terpapar dalam peringatan Allah kepada kita, yang bermaksud:
Wahai orang yang beriman, janganlah kamu dilalaikan oleh (urusan) harta benda kamu dan anak anak kamu dari mengingat Allah, dengan menjalankan perintah-Nya, dan ingatlah, barang siapa yang melakukan demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi. (Surah al-Munafiqun 63:9)
Hal yang sama turut disebut dalam Surah al-Taubah 9:24 yang bermaksud: Katakanlah wahai (Muhammad): "Jika bapak-bapak kamu, dan anak-anak kamu, dan saudara kamu dan isteri-isteri kamu, dan kaum keluarga kamu, dan harta benda yang kamu usahakan, dan perniagaan yang kamu ragu akan bangkrut, dan rumah-rumah tempat tinggal yang
kamu sukai -- (jika semuanya itu) menjadi perkara-perkara yang kamu cintai lebih daripada Allah mendatangkan keputusan-Nya (azab siksa-Nya), karena Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang yang fasik'.
Kedua petikan tadi menunjukkan manusia bisa dilalaikan oleh kepentingan keluarganya dan lebih buruk lagi harta bendanya. Kedua-duanya membangkitkan sifat kekauman dan kebendaan (materialisme).
Apabila fikiran dilalaikan oleh masalah keluarga seperti percekcokan, atau risau memikirkan tingkah laku anak, seseorang itu mungkin terlepas dari mengingat Allah.
Cara utama mengingat Allah tentulah dengan bersholat fardu lima waktu, berdoa, melakukan perkara-perkara yang sunnah, melakukan perbuatan yang disuruh Allah (beribadat atau bekerja yang halal) dan menjauhi segala yang dilarang-Nya. Setiap pekerjaan baik, perlu dimulai dengan membaca kalimah Basmallah sebagai tanda persaksian akan kedudukan manusia sebagai hamba Allah.
Allah SWT Berfirman, yang bermaksud :
" Tentramkanlah hatimu dengan mengingat Allah, Sesungguhnya dengan mengingat Allah
hatimu akan tentram "
[]